Fenomena Diskriminasi Terhadap LGBTQ+ yang Semakin Kesini Semakin Menjadi-jadi
- Wahyu Hidayat
- Jun 1, 2023
- 6 min read
Updated: Jan 31, 2024

Taukah kamu? bulan juni dikenal dengan Pride month. Perayaan atau peringatan Pride month identik dengan perayaan atau dukungan hak sipil dan kebebasan berekspresi terhadap orang lesbian, gay, biseks, transgender, queer dan masih banyak lagi istilah lainya. Biasanya di kota-kota besar di negara Amerika serikat, Inggris, Belanda, memperingati Pride month ini dengan mengadakan festival dan pemasangan bendera pelangi sebagai lambang kebebasan di sudut-sudut kota. Perusahaan dunia, seperti Uniliver, Meta, Twitter, Nestle, dan perusahaan besar dunia juga tidak ketinggalan ikut serta dalam memperingati memperingati Pride month dan merubah logo perusahaan mereka dengan menambah unsur warna pelangi selama bulan juni dalam bentuk dukungan dengan harapan tercipta lingkungan yang inklusif dan ramah terhadap orang LGBTQ+ di seluruh dunia.
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia memperingati Pride month? Mungkin iya, untuk sebagian orang. Namun memperingatinya biasanya hanya sebatas lewat media sosial tidak dengan gerakan progresif yang menyerukan hak-hak orang LGBTQ+ dimuka umum. Atau mungkin ada juga yang memperingati secara langsung tapi hanya di kalangan kelompok-kelompok komunitas kecil saja, itu pun secara diam-diam. Kenapa begitu? Itu semua dilakukan semata-mata untuk menghindari diskriminasi dan persekusi dari orang-orang konservatif agama.
Diskriminasi dan kebencian terhadap orang LGBTQ+ oleh orang konservatif agama mungkin tidak segamblang sekarang, tepatnya setelah disahkanya undang-undang No. 44 pada tahun 2008 tentang pornografi yang berbunyi “melarang presentasia audio dan visual termasuk lagu, puisi, film, lukisan dan foto-foto yang menunjukan dan menyarankan hubungan seksual antara orang-orang dengan jenis kelamin yang sama. Mereka yang kedapatan melanggar akan dikenakan denda dan dipenjara selama tujuh tahun.
Buktinya, dulu awal tahun 2000an banyak yang hal yang berkaitan dengan LGBTQ+ dianggap hal yang biasa. Misal, film pada masa itu banyak yang mengangkat tema isu LGBTQ+ dan tidak ada yang protes dan demo seperti sekarang, bahkan jauh sebelum itu, dulu sempat ada komunitas yang bernama Lambda yang didirikan pada tahun 1982 kemudian ada GayA NUSATARA yang didirkan pada tahun 1990 . Tapi setelah disahkannya undang-undang pornografi pada tahun 2008 hingga tahun sekarang eskalasi kebencian, diskriminasi terhadap orang LGBTQ+ semakin meningkat.
Baca juga:
Selama orang-orang konservatif agama ada di Indonesia dan berkembang semakin banyak, itu sangat tidak mungkin untuk orang LGBTQ+ melakukan kegiatan-kegiatan untuk mengekspresikan diri mereka sesuai gendernya secara terbuka. Bahkan, untuk melakukan seperti seminar, pertemuan, silaturahmi sesama dengan komunitasnya sangatlah sulit.
Rententan Persekusi dan Narasi yang Menyudutkan LGBTQ+
Dikutip dari Human Right Watch, pada tahun 2010 asosiasi lesbi dan gay atau yang disebut dengan ILGA mengadakan kongres pertemuan di hotel lantas dibubarkan oleh FPI. bahkan sempat menyerang posko ILGA. FPI mencoret-coret dengan tulisan bahwa “lesbian dan gay adalah teroris moral” padahal mendapat dukungan dari komnas HAM dan Lembaga swadaya masyarakat. akhirnya untuk menghentikan protes, ILGA memanggil bantuan BANSER untuk membubarkan prostes tersebut.
Pada Mei 2012 sempat akan diadakan seminar yang akan dihadiri oleh penulis lesbian muslim asal kanada, Irshad Manji, namun digagal oleh FPI dan mengancam kehadiran seorang penulis lesbian muslim. Tidak hanya itu, peluncuran buku Irshad Manji pada bulan yang sama di Yogyakarta pun sempat dihentikan karena dibubarkan oleh orang konservatif muslim yang mengatasnamakan dirinya sebagai Majelis Mujahidin Islam dan dari kejadian itu beberapa orang ada yang terluka.
Kemudian pada tahun 24 januari 2016 seorang Menteri Riset dan Pendidikan tinggi mengatakan lewat akun twitter pribadinya bahwa dirinya akan melarang gerakan kegiatan LGBT di universitas, meski akhirnya dia menarik Kembali pernyataanya, tapi hal itu sudah terlambat pasalnya karena tweet itu menimbulkan kegaduhan dan menimbulkan pernyataan anti-LGBTQ+ dari berbagai pihak tidak hanya dari pihak orang-orang konservatif agama, tapi juga organisasi masyarakat non-pemerintah bahkan para sejumlah pejabat pemerintah dan beberapa politikus lainya ikut menyatakaan pernyataan yang mengandung anti-LGBTQ+. Selain itu, Menteri pertahanan pada masa itu menganggap bahwa orang aktivis pendukung hak-hak LGBTQ+ adalah serangan Proxy war yang dipimpin oleh orang asing.
Dari pernyataan-pernyataan yang mengandung kebencian terhadap orang LGBTQ+ ini meningkatkan ancaman dari dunia nyata dan dunia maya. Dari beberapa daerah juga menerapkan UU perda yang secara jelas untuk menghukum para orang-orang LGBTQ+ jika kedapatan memiliki hubungan sejenis maka akan dihukum, seperti halnya aceh yang menerapkan hukum cambuk.
Pada tahun 2022 Mahfud MD menteri koordinasi bidang politik, hukum dan HAM mengatakan akan menggulirkan wacana pemidanaan LGBTQ+ dalam RKUHP yang sedang dibahas oleh DPR. Sontak, hal ini memicu reaksi kekhawatiran hal yang akan lebih buruk oleh LGBTQ+ meski akhirnya diklarifikasi oleh Asrul Sani anggota komisi III DPR mengaskan tidak ada pidana kepada LGBTQ+ dalam RKUHP namun hanya perbuatan cabul sesama jenis.
Wali kota Medan, Bobby Nasution pada 2 januari 2023 mengatakan bahwa dia menolak LGBTQ+ di Medan hanya karena dia melihat pria sesama pria bergandengan tangan pada saat perayaan malam tahun baru. Sudah pasti, hal ini sambut dan didukung secara penuh oleh orang-orang konservatif agama dan masyarakat yang kontra dengan LGBTQ+. Karena pernyataan tersebut maka akan dengan mudahnya orang-orang konsevatif agama untuk melakukan persekusi jika kedapatan pasangan sesama jenis.
Selain itu, maraknya pemberitaan media masa yang cenderung memojokan dan selalu mengangkat berita tentang LGBTQ+ mengaitkanya dengan hal-hal yang negatif oleh para jurnalis yang mungkin memang kontra atau kurangnya pengetahuan tentang LGBTQ+ membuat para orang konservatif agama dengan gampang mengutip berita-berita ini selain mengutip ayat-ayat kitab suci untuk menyebarkan kebencian terahadap orang LGBTQ+.
Orang LGBTQ+ pada saat dirinya mendapatkan kasus ancaman atau persekusi dari orang konservatif agama dan mencoba untuk melaporkan ke polisi, seringnya juga berakhir dengan ketidak jelasan. hal ini menjadi gambaran jelas bahwa menjadi bagian LGBTQ+ selain rentan mendapatkan persekusi juga tidak mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan dari negara.
Dari serangkaian diskriminasi dan persekusi yang terjadi pada orang LGBTQ+ di Indonesia secara terus menerus dan semakin meningkat, dalam hal ini negara telah gagal dalam menjamin HAM orang LGBTQ+. padahal kasus ini sering muncul ke permukaan, tapi dari pihak pemerintah tidak ada tindakan apa-apa untuk membendung kebencian dan diskriminasi tehadap orang LGBTQ+. Dan pemerintah juga tidak berusaha untuk menciptakan lingkungan yang inklusif untuk semua golongan masyarakat. Yang terjadi malah sebaliknya semacam melakukan pembiaran. Padahal mendapatkan hak untuk rasa aman dan perlindungan sebagai warga negara sudah tercantum dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
Fakta Tentang LGBTQ+
Apa lagi memasuki tahun politik sekarang ini, biasanya menjadi masa yang paling menakutkan bagi orang LGBTQ+ pasalnya, seringkali para politkus mempolitisasi LGBTQ+ dan membingkainya dengan narasi yang berujarkan kebencian semata-mata untuk mendapatkan dukungan dari orang-orang konservatif agama. Dan biasanya orang-orang konservatif ini akan mempengaruhi masyarakat lainya untuk melakukan tindakan kebencian serupa dengan membentur-benturkan LGBTQ+ dengan moral dan agama. Contoh, mereka membuat narasi bahwa bencana alam terjadi disebabkan oleh orang LGBTQ+ di Indonesia, tidak hanya itu mereka juga melabeli bahwa orang LGBTQ+ sebagai perusak moral bangsa hal yang paling mengejutkan adalah mereka menganggap bahwa LGBTQ+ itu berasal dari negara barat. Faktanya LGBTQ+ itu tidak berasal dari negara barat, LGBTQ+ terdapat di berbagai negara, terlepas dari agama dan etnisnya.
Orang konservatif agama mengatakan bahwa LGBTQ+ adalah gangguan jiwa. Faktanya, menurut WHO, bahwa itu bukanlah bagian dari gangguan kejiwaan, orang LGBTQ+ pada dasarnya sama seperti orang heteroseksual pada umumnya dan WHO juga menjelaskan bahwa homoseksualitas adalah variasi natural dan non-patologis manusia.
Orang konservatif agama juga seringkali mengatakan bahwa LGBTQ+ adalah biang penyakit HIV dan AIDS. Faktanya, HIV dan AIDS bisa menular siapa saja, termasuk orang heteroseksual sekalipun. Tapikan dari jumlah presentasi HIV dan AIDS orang yang homoseksual paling tinggi dibanding orang heteroseksual? iya memang kenyataanya begitu. Kenapa bisa begitu? Karena diskriminasi dan pembatasan terhadap orang LGBTQ+ dalam mengakses pelayanan Kesehatan dan Pengetahuan Kesehatan reproduksi yang menyebabkan mereka lebih rentan terhadap HIV dan AIDS.
Orang konservatif agama mengatakan bahwa LGBTQ+ bisa menular, faktanya gender itu sesuatu hal yang tidak bisa diubah dan tidak menular. Logikanya jumlah orang heteroseksual di Indonesia lebih banyak dibanding orang LGBTQ+, jika memang gender itu menular maka seharusnya orang LGBTQ+ akan menjadi heterseksual.
Tekanan demi tekanan terhadap orang LGBTQ+ di Indonesia oleh orang konservatif agama di Indonesia membuat mereka untuk untuk menyamarkan atau menyembunyikan identitas gender yang sebenarnya. Mereka menikah dengan lawan jenisnya agar mendapatkan pengakuan sebagai orang heterseksual dari keluarga dan lingkungannya. Meski seringnya pernikahan mereka berakhir dengan kegagalan karena kedapatan memiliki hubungan lain dengan sejenisnya.
Dan yang baru-baru ini ramai Kembali tentang LGBTQ+ adalah akan diadakannya konser band Coldplay asal Amerika serikat di Indonesia, gelombang seruan penolakan dan kebencian kepada orang LGBTQ+ oleh orang konservatif agama Kembali menggema bahkan mengancam akan menghadang band Coldplay di bandara.
Band Coldplay memang secara terbuka mendukung LGBTQ+ bahkan sempat mengibarkan bendera Pelangi di konsernya. Tapi mendukung dalam arti menciptakan lingkungan yang inklusif, mendukung hak-hak LGBTQ+ atas dasar kemanusiaan.
Hal ini sering disalah pahami oleh orang konservatif agama kepada para pendukung LGBTQ+ di indonesia. Mereka menganggap, mendukung sama dengan menjadi bagian atau menjadI LGBTQ+ padahal tidak. Dalam hal ini mendukung dalam arti tidak mendiskriminasi orang LGBTQ+ dalam mendapatkan haknya dalam akses pelayanan publik dan hak-hak dasar manusia yang mana sebagai warganegara. Seperti Pendidikan, layanan Kesehatan, administrai, keamanan, berpolitik dan lain sebagainya.
Comments