Mengingat Peristiwa Kelam Mei 1998
- Wahyu Hidayat
- May 17, 2023
- 4 min read
Updated: Oct 31, 2023

Trigger warning: tulisan ini mengandung kata kekerasan kekerasan fisik, seperti pembunuhan, pelecehan seksual, pemerkosaan yang dapat memicu trauma dan emosi.
Sudah 25 tahun tragedi mei 1998 berlalu. Namun tragedi kelam itu menyisakan luka yang tak lekang oleh waktu. Kerusuhan, penjarahan, demo besar-besaran, peculikan, dan pembunuhan yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia telah menjadi bagian sejarah hitam bagi bangsa Indonesia. Bagi korban yang masih hidup, tentu saja tragedi ini menjadi potret buram dalam hidup yang memberi efek trauma yang mendalam. Dan bagi para keluarga yang anggota keluarganya terbunuh oleh oknum aparat dan perusuh dzolim, hingga kini pun masih berjuang hingga titik darah penghabisan untuk mendapatkan sebuah keadilan dan pertanggung jawaban.
Memang, dari tragedi itu membawa hikmah dan perubahan yang masif dalam sistem pemerintahan, ekonomi, dan kebebasan pers di Indonesia. Tapi sayangnya, bangsa Indonesia harus membayar dengan sangat mahal. Ribuan nyawa melayang dan banyaknya para perempuan terutama dari etnis tionghoa yang menjadi korban pelecehan seksual pada tragedi itu.
Tragedi mei 1998 dipicu oleh krisis ekonomi di asia yang mana banyak negara asia yang terdampak termasuk Indonesia. Pada saat itu nilai tukar rupiah terjun bebas terhadap dollar sekitar 15ribu hingga 16ribu perdolar amerika serikat. Masyarakat menilai kebijakan pemerintahan Suharto saat itu tidak cukup membantu masyarakat dalam menghadapi krisis moneter tapi beliau diangkat kembali menjadi presiden ke tujuh kalinya pada 10 mei 1998 setelah sidang MPR, diperparah dengan korupsi yang merajelela, bahan pokok melambung tinggi, phk masal dimana-mana, banyak proyek yang dihentikan, kebangkrutan dimana-mana, pengangguran meningkat, kemiskinan meingkat. Hal itu menambah kekecewaan masyarakat terhadap pemerintahan Suharto.
Baca juga:
Dengan situasi yang carut marut negara Indonesia kala itu, pada 12 mei 1998 membuat mahasiswa untuk berani dan lantang menyuarakan suaranya bahwa Indonesia butuh reformasi. Kampus Trisakti adalah kampus yang paling dekat dengan Gedung DPR dan MPR yang mana pada waktu itu menjadikan kampus ini sebagai titik kumpul oleh mahasiswa dari daerah lain untuk berkumpul dan menggelar aksi unjuk rasa.
Para mahasiswa beserta dosen dan staff melakukan unjuk rasa ke DPR dan MPR namun saat sampai di depan Gedung kantor walikota Jakarta barat mereka dihadang oleh aparat polisi dan TNI, akhirnya mereka Kembali ke kampus Trisakti. Namun, Pada saat mereka jalan menuju kampus para oknum aparat polisi dan TNI menembaki para mahasiwa dari belakang. Para mahasiswa pun berhamburan tunggang langgang dan sebagian ada yang melempari oknum itu dengan batu untuk mempertahankan diri.
Dari penembakan itu terdapat empat mahasiswa yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendiawan Sie meregang nyawa. Hingga pada kesokan harinya pada 13 mei 1998 mahasiswa dari berbagai kota diluar daerah Jakarta berdatangan ke kampus Trisakti untuk mengungkapkan bela sungkawa.
Krisis moneter yang terjadi kala itu benar-benar sangat berdampak ke seluruh elemen masyarakat. kecuali para etnis tionghoa. Mereka cenderung stabil. Hal itu memicu kecemburuan dalam masyarakat, Hingga akhirnya beredarlah rumor bahwa penyebab krisis moneter adalah para etnis tionghoa. isu krisis moneter yang melanda di indonesia diplintir menjadi isu rasial. Selain itu, orang-orang etnis tionghoa dituduh pendukung PKI.
Dari situ, munculah oknum-oknum perusuh yang menyasar ke orang etnis tionghoa dan memprovokasi untuk melakukan tindakan anarkis dan sabotase. Sehingga mereka menjadi masa yang besar dan tak terkendali.
Mereka, para perusuh-perusuh ini merusak fasilitas umum, menyetop mobil yang lewat kemudian membakarnya, menjarah supermarket, mall dan toko-toko milik orang tionghoa. Bahkan rumahpun dijarah asal punya orang tionghoa. Orang tionghoa yang sedang berada di tempat umum, kendaran, umum, diculik, dianiaya, hingga diperkosa ramai-ramai kemudian dibunuh.
Orang-orang etnis tionghoa pun ketakutan. Bagi orang etnis tionghoa yang berasal dari kalangan atas memilih untuk melarikan diri dan mencari suaka ke Amerika, cina, singapura. Sisanya, agar terhindar dari amukan masa mereka menulisi tembok rumah mereka dengan tulisan “pribumi” atau “pro-reformasi” kalau tidak mereka menjemur sajadah atau mukena didepan rumahnya agar disangkanya orang muslim.
Selain di Jakarta, kerusuhan serupa juga terjadi di Palembang, Medan, Surabaya dan Surakarta. Dengan adanya peristiwa itu, terdapat indikasi bahwa kerusuhan yang mulanya karena politik berubah menjadi isu rasialisme.
Mahasiwa yang berunjuk rasa semakin banyak, kerusuhan semakin meluas. Karena keadaan itu, akhirnya Suharto yang sedang berdinas di kairo mesir memutuskan untuk Kembali ke indonesia. Beliau menyatakan siap mundur jika rakyat Indonesia kurang puas atas kinerjanya. Awalnya kabar itu sempat ditepis oleh mentri penerangan Alwi Dahlan, meski Suharto benar-benar mengundurkan diri pada tanggal 21 mei 1998 dan digantikan oleh BJ. Habibie sebagai presidennya.
Setelah itu, karena banyaknya laporan tindak pidana kekerasan akhirnya dibentuklah Tim Gabungan Pencari Fakta atau TGPF untuk mencatat dan mendata serta melaporkan yang menjadi korban atas peristiwa kelam itu. Dikutip dari TGPF, telah terdapat pemerkosaan yang menimpa 52 perempuan. Sebanyak 14 orang korban pemerkosaan dan penganiayaan, 10 orang korban penyerangan dan penganiayaan seksual dan 9 orang korban pelecehan seksual. Namun itu belum mencakup secara keseluruhan.
Tapi selain tim TGPF, Tim Relawan untuk Kemanusiaan atau TRK menemukan lebih banyak lagi setidaknya ada 152 korban pemerkosaan dari korban itu, 20 orang diantaranya meninggal. Dan mayoritas korbannya adalah perempuan tionghoa.
Na’asnya seorang perempuan tionghoa bernama Ita Martadinata Haryono yang mana sebagai tim TRK ditemukan meninggal pada 9 oktober 1998.
Ita ditemukan meninggal dirumahnya. Perut, dada, lengan ditikam sepuluh kali, lehernya disayat hingga hampir putus dan kelaminnya ditancap menggunakan kayu. Sontak, kejadian itu sangat mengejutkan pasalnya Ita lah yang paling getol agar para korban pelecehan seksual berani bersuara. Selain itu, dia dan ibunya memberi konseling terhadap para korban pelecehan seksual paska tragedi kerusuhan.
Pihak yang berwajib setelah melakukan pendalaman perkara dan menyimpulkan bahwa apa yang menimpa Ita adalah murni tindak kejahatan biasa. Modusnya ingin merampok akan tetapi pelaku terpergok oleh korban hingga akhirnya korban dibunuh oleh pelaku. Pelakunya sendiri bernama Suryadi alias Otong.
Tapi, hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan besar, karena dia terbunuh kurang dari dua hari sebelum keberangkatanya untuk memberi kesaksian di sidang PBB dihadapan kongres Amerika serikat bersama empat korban kekerasan seksual lainya.
Comments