Indonesia tercatat ada 652 bahasa daerah diseluruh nusantara menempati posisi kedua negara dengan jumlah bahasa daerah terbanyak setelah Papua Nugini. Bahasa daerah adalah bahasa yang yang dituturkan secara turun-temurun disuatu wilayah dalam sebuah negara yang berdaulat. Bahasa daerah di Indonesia memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri, salah satunya adalah bahasa jawa ngapak. Iya bahasa jawa ngapak, yang membuat kamu tertawa itu.
Apa Itu Bahasa Jawa Ngapak?
Bahasa jawa ngapak adalah dialek bahasa jawa yang dituturkan di Jawa tengah bagian barat seperti Tegal, Brebes, Pekalongan, Banyumas, Cilacap, Banjarnegara, sebagian wilayah Wonosobo dan sebagian jawa barat yang berbatasan dengan jawa tengah seperti Cirebon dan Indramayu. Selain itu bahasa Jawa ngapak masih memiliki keterkaitan dengan bahasa jawa kawi atau jawa kuno.
Bahasa jawa ngapak sendiri mengalami perubahan dan perkembangan. Yaitu:
Abad ke 9-13 sebagai bagian dari bahasa jawa kuno.
Abad ke 13-16 berkembang menjadi bahasa jawa pertengahan.
Abad ke 16-20 berkembang menjadi bahasa denga dialek ngapak seperti saat ini dan sangat berbeda jauh dengan dialek bahasa jawa baku (jogja, solo dan jawa timur). Tapi tetap terpengaruh dengan feodalisme karena berkembangnya kerajaan-kerajaan di jawa terutama pada masa kerajaan bercorak islam.
Bahasa jawa ngapak tergolong bahasa jawa yang lebih tua dibanding bahasa jawa baku, karena banyak kosa katanya berasal dari bahasa jawa kuno. Diperkirakan bahasa jawa ngapak sudah ada pada jaman Majapahit. Menurut Heru satoto mengatakan bahwa bahasa jawa asli (jawadwipa) sudah ada sebelum Aji Saka menciptakan aksara jawa. Menurutnya, saat itu bahasa jawa yang digunakan masih bahasa jawa ngoko lugu, seperti bahasa ngapak saat ini. Sebagai contoh “rika”(jawa=koe, bahasa Indonesia=kamu), inyong yang berasal dari ingong(jawa=aku, Indonesia=aku atau saya) begitu juga dengan pengucapan vokal “a” seperti halnya pengucapan bahasa sansekerta.
Bahasa jawa ngapak dikenal dengan bahasa yang tidak berkasta dan lebih universal. Terkadang orang dari jawa non-ngapak menganggap bahasa jawa ngapak kasar. Hal ini disebabkan orang jawa tengah bagian barat dan sekitarnya dikenal sebagai orang yang mempunyai sifat “blakasuta”/“cablaka”/”thokmelong”. Apa pengertian dari istilah itu?
“blakasuta”/“cablaka”/”thokmelong” adalah sifat atau karakter yang mengedepankan keterusterangan apadanya. Istilah ini menunjunkan bahwa orang jawa tengah bagian barat seperti banyumas dan sekitarnya suka menyampaikan pendapat terus terang tanpa basa basi dan tanpa menyembunyikan sesuatu. Akibat dari keterus terangan ini, sering disalahpahami dan dianggap kurang sopan, tidak mengerti unggah-ungguh atau tidak seperti masyarakat jawa lainnya.
Baca juga:
Apa yang Membedakan Bahasa Jawa Ngapak dengan Bahasa Jawa Baku?
Terus bedanya bahasa jawa ngapak dengan bahasa jawa pada umunya apa sih? bahasa jawa baku seperti yang dituturkan di solo, jogja, dan jawa timuran pengucapan kata berakhiran “a” selalu dibaca dengan “o” contohnya tulisan “sega (nasi)” dibaca “sego”. Sedangkan di bahasa jawa ngapak tetap di baca berakhiran “a” yaitu tulisan “sega” tetap dibaca “sega” itulah yang menjadi ciri khas bahasa jawa ngapak. Yang menjadi ciri khas selanjutnya adalah kata k selalu terdengar jelas contohnya “bapak” jika di bahasa jawa ngapak tetap di baca “bapak” sedangankan di bahasa jawa baku “k” diakhir kata dibaca samar yaitu “bapa”.
Untuk kata sebutan, bahasa jawa ngapak untuk menyebut aku adalah “inyong atau nyong” sedangkan di bahasa jawa baku aku adalah “aku”, kamu dalam bahasa jawa ngapak adalah “koe atau ko” tapi untuk wilayah Banjarnegara bagian timur dan sebagian wonosobo untuk menyebut kata kamu lebih sering menggunakan kata “deke dan ko” sedangkan di bahasa jawa baku kamu adalah “koe”. Lebih jelasnya lihat gambar dibawah ini.
Bahasa jawa ngapak sangat berbeda dengan bahasa jawa baku. Hal ini terjadi tidak jauh dari pengaruh politik pada masa kerajaan Pajang. Pada masa Kangjeng Sultan hadiwijaya, dirinya merasa bahwa kerajaan dan daerah kekuasaannya harus memiliki identitas salah satunya adalah bahasa. Sehingga sultan hadiwijaya membuat bahasa jawa baku mulai dari tingkatan bahasa, cara pengucapan dan dialek. Awal mulanya diterapkan di lingkungan kraton, kemudian bahasa tersebut diadopsi oleh masyarakat di lingkung kraton dan berkembang pesat. Bahasa jawa baku sendiri tergolong dengan bahasa jawa baru karena mengalami gubahan dan perubahan.
Sedangkan masyarakat jawa tengah bagian barat seperti Banyumas dan sekitarnya tetap dengan bahasanya sendiri yaitu dengan bahasa jawa ngapaknya dan tidak terpengaruh dengan bahasa jawa baku karena letaknya jauh dari pusat pemerintahan. Sehingga muncul istilah “adoh raja cedak watu” yang artinya jauh dari raja dekat dengan batu.
Karena hal ini, muncul anggapan bahwa bahasa jawa baku atau sering disebut bahasa jawa wetanan lebih elit dan adiluhung karena berasal dari kraton. Sedangkan bahasa jawa ngapak termarginalkan dikenal tidak bagus,kampungan dan rendahan.
Anggapan-anggapan dan persepsi semacam itu terus terjadi hingga kini, yang mana membuat para penutur bahasa jawa ngapak merasa minder dan rendah diri saat sedang berhadapan dengan orang dengan berbahasa jawa baku atau wetanan.
Bahasa Jawa Ngapak Terancam Punah
Stigma bahasa jawa ngapak dianggap “lucu” ternyata membuat penuturnya malu dan mulai ditinggalkan terutama oleh para generasi mudanya. Dikutip dari blog himpunan mahasiswa cilacap di Yogyakarta, Sastrawan dengan karya novel fenomenal yang berjudul Ronggeng dukuh paruk sekaligus sebagai pemerhati budaya banyumasan Ahmad tohari merasa khawatir dengan stigma yang berakibat mulai ditinggalkannya dialek ngapak.
“Dalam kenyataan sehari-hari keberadaan bahasa banyumasan termasuk dialek lokal yang sungguh terancam. Maka kita sungguh pantas bertanya dengan nada cemas, tinggal berapa persenkah pengguna bahasa banyumasan 20 tahun ke depan? Padahal, bahasa atau dialek adalah salah satu ciri utama suatu suku bangsa. Jelasnya tanpa bahasa banyumasan sesungguhnya, wong panginyongan boleh dikata akan terhapus dari peta etnik bangsa ini”. Jelasnya.
Yang menjadi kekhawatiran lainnya oleh beliau adalah banyaknya risalah teks lama banyumasan ke dalam bahasa jawa baku bukan bahasa banyumasan.
“Teks-teks lama Banyumanasan seperti Babad-babad Kamandaka, misalnya, malah lebih banyak ditulis dalam dialek jawa wetanan, jadi sebuah teks yang cukup mewakili budaya dan semangat panginyongan harus segera disediakan”. Tuturnya.
Mungkin kalian pernah dengar kata-kata “cantik-cantik kok ngapak?” atau “ganteng-ganteng kok ngapak?”. Nah, kata-kata itulah yang membuat para penuturnya merasa malu saat berbicara menggunakan bahasa jawa ngapak. Ejekan semacam ini paling sering dialami oleh perantauan dan mahasiswa hingga membuat mereka lebih menggunakan bahasa jawa wetanan atau memilih menggunakan bahasa Indonesia untuk menghindari ejekan-ejekan itu.
Apa yang dialami oleh penutur bahasa jawa ngapak sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Ahmad tohari. Yaitu bahwa mereka sedang terkena sindrom jajahan.
“Penyakit sindrom jajahan itu adalah rendah diri atau minderwadigheid. Banyak orang banyumas yang diam-diam masih rendah diri jika berhadapan dengan wong wetanan. Sebab, solo atau jogja dianggap majikan, nigari agung, priyayi yang menjajah. Sebaliknya, panginyongan merasa anak kawula alit, mancanegara kilen, wong tani, pidak pedarakan". Jelasnya.
“mulane banyumas sarwa-sarwine digambarkan ora maen. Biasane dianggep kasar, solah bawane diarani ndesani, budayane diarani ora adiluhung. Pokoke sarwa-sarwine rumangsa lewih asor”. tambahnya.
(makanya banyumas serba digambarkan tidak baik. Bahasanya dianggap kasar, tingkah lakunya dikatakan kampungan, budayanya disebut tidak adi luhung(tinggi). Pokoknya serba ditempatkan posisi yang lebih rendah).
Stigma itu diperparah dengan seringnya bahasa jawa ngapak digunakan oleh pelawak ditelevisi sebagai objek lawakan dan tertawaan. selain itu, seringnya dimunculkan orang dengan bahasa jawa ngapak di televisi diidentikan dengan orang yang kampungan, tidak berpendidikan, pembantu, ndeso dan katrok. Sehingga orang yang tingkat pengetahuannya kurang tentang bahasa jawa ngapak seiring berjalannya waktu berpersepsi dan berstigma bahwa orang dengan bahasa jawa ngapak seperti apa yang sering ditampilkan di media-media terutama televisi.
Bahkan, di media sosial tidak jarang yang mengatakan bahwa bahasa ngapak itu jelek dan didengarnya terasa kurang enak. Padahal bahasa jawa ngapak merupakan bentuk salah satu kekayaan budaya di Indonesia.
Baro indra, 29 tahun, yang akrab disapa baro, seorang novelis yang dikenal lewat karyanya berjudul Le me forever alone pun mengalami stigma tersebut. Baro lahir di Purwoketo dan untuk saat ini sudah satu setengah tahun tinggal dan bekerja di Jakarta. Saat diwawancara, dirinya mengaku pernah ditertawakan saat sedang berbicara menggunakan bahasa ngapak saat menerima telfon dari keluarganya.
“Gue pernah beberapa kali saat lagi sama temen tiba-tiba keluarga telfon pake bahasa ngapak, pas seleseai telfon, mereka ketawa-ketawa. Mungkin dianggapnya lucu kali ya?”. Tuturnya.
Jujur, dirinyapun bingung dan merasa kesal, ada apa si dengan bahasa ngapak? Kok ngomong pakai bahasa ngapak ditertawakan. Karena posisinya dia sedang tidak bercanda dan sedang berbicara dengan keluarganya. Dia berpendapat bahwa hal ini disebabkan karena di televisi sering muncul pelawak-pelawak dengan bahasa ngapak, jadi bahasa ngapak dianggap lucu.
“Awalnya si gue bingung pas mereka ketawa, kenapa sih kok diketawain? Jujur kaya direndahin gitu ya? Emang apa salahnya? Cuma ya lama-lama jadi kaya biasa aja. Mungkin udah jadi stereotip kali ya, kalo stigma lucu pada bahasa ngapak itu lucu terbentuk karena dari media seperti di tv yang sering menampilkan pelawak dengan bahasa ngapak. Dari situlah stigma lucu dan katrok terhadap bahasa ngapak muncul”. Jelasnya.
Dia sangat menyayangkan stigma “lucu” pada bahasa ngapak ini konotasi lebih ke arah yang negatif, contohnya dianggap lucu untuk mengolok-olok karena berbicara dengan bahasa jawa ngapak dianggapnya kampungan.
Dia berharap masyarakat semakin sadar bahwa bahasa ngapak itu tidak lucu atau untuk lucu-lucuan sebagai bahan tertawaan, bahasa ngapak itu adalah bahasa yang memiliki kekhasan dan nilai-nilai yang lebih universal yang mencerminkan masyarakat jawa tengah bagian barat dan sekitarnya. Sudah sepatutnya kita bangga dengan adanya bahasa jawa ngapak.
Ledekan bahasa jawa ngapak juga di alami oleh Samsul Arifin, 25 tahun, seorang karyawan swasta yang akrab disapa Apin berasal dari Tegal. Dirinya sudah lima tahun kerja dan tinggal di Jakarta. Stigma “lucu” pada bahasa ngapak membuat dirinya merasa minder, terlebih saat awal-awal di Jakarta.
Bagi apin waktu pertama di jakarta adalah tantangan yang besar terutama dalam berbahasa karena dalam kesehariannya menggunakan bahasa ngapak, jadi saat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia logat bahasa jawa ngapaknya terbawa. Karena hal itu, dirinya menjadi bahan ledekan.
“Gue pernah si diledekin hanya karena gue berlogat ngapak, ya namanya juga baru di Jakarta. Jadi setiap gue ngomong mereka pada tertawa. Terus di tiruin sama mereka. Sempat si itu buat gue kaya merasa minder”. Jelasnya.
Tapi sekarang ini dirinya merasa sudah terbiasa. Jadi apin menganggap itu hanya sebagai gurauan belaka. Jika dia menerima candaan karena logatnya, malah apin menyarakan untuk belajar bahasa jawa ngapak biar bisa sama-sama ngapak.
Upaya Pelestarian Bahasa jawa Ngapak
Dengan mulai kurang diminatinya bahasa jawa ngapak, membuat pemerintah daerah seperti kabupaten Purbalingga sadar betul bahwa bahasa jawa ngapak kemungkinan masa yang akan datang akan benar-benar punah.
Terlebih mulok bahasa jawa yang diajarkan di sekolah-sekolah adalah bahasa jawa baku. Selain susah dipahami untuk masyarakat banyumas dan sekitarnya, bahasa jawa baku juga sedikit demi sedikit menggeser bahasa jawa ngapak yang mana sebagai bahasa ibu dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa jawa ngapak adalah bahasa ibu bagi eks karisedenan banyumas yang mana mengandung kultur dan nilai yang mencerminkan sikap dan sifat orang banyumasan.
Dengan penuh kesadaran pemerintah daerah kabupaten Purbalingga berupaya untuk melestarikan bahasa jawa ngapak. Sebagai contoh saat hari jadi kabupaten Purbalingga pada tahun 2021 yang diadakan secara daring dan luring yang bertema semangat grapyak yang menggambarkan semangat kebersamaan dan keramah tamahan masyarakat Pubalingga dan Banyumas raya.
kepala dinas pemuda dan olahraga dan pariwisata purbalingga, Prayitno mengeklaim bahwa kabupten Purbalingga yang baru pertama menggelar even dengan mengangkat tema tentang bahasa jawa ngapak. Lomba atau kompetisi pada even ini pun semuanya menggunakan bahasa jawa ngapak, seperti, Stand up comedy ngapak, music ngapak, cerdas cermat ngapak, kemah ngapak dan masih banyak lagi.
Ahmad tohari sebagai sastrawan sekaligus pemerhati budaya banyumasan pun andil dalam upaya pelestarian bahasa jawa ngapak. Yaitu dengan menerbitkan majalah bernama Ancas yang diterbitkan sejak 6 april 2010. Oplanya perbulan cukup tinggi dengan 3000 eksemplar. Pelangganya adalah guru-guru dan sekolah-sekolah di wilayah eks karisidenan banyumas. Bahkan majalah itu juga dikirim ke luar wilayah eks banyumas, seperti ke Padang dan Jakarta mengingat terdapat juga komunitas orang banyumas disana.
Terlebih, sekarang banyak artis-artis seperti Vicky shu dan Deva Genova yang dengan bangga menggunakan bahasa jawa ngapak, menginspirasi para penutur bahasa jawa ngapak lainya untuk bangga dan percaya diri. Hal itu terbukti dengan banyak munculnya para konten kreator di tiktok yang menggunakan bahasa jawa ngapak yang selalu mendapatkan banyak view, like dan komen.
Bahasa jawa ngapak menjadi bagian penting dari warisan budaya nusantara. Dengan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari merupakan cara yang efektif dalam menjaga kekayaan linguistik dan mempererat ikatan sosial diantara komunitas masyarakat jawa ngapak.
Jangan malu dengan bahasa jawa ngapak,tapi berbanggalah. Sejatinya bahasa jawa ngapak itu kedudukanya sama dengan bahasa lainnya. Yang membedakan hanya ciri khasnya yang mencerminkan nilai budaya dan aspek kehidupan masyarakatnya. Dengan begitu, kita mampu menghormati nenek moyang dan memastikan bahawa nilai-nilai tradisi termasuk bahasa tetap hidup.
Oleh karena itu, jangan minder dan rendah diri hanya karena berbahasa jawa ngapak. Sehingga keberagaman dan keunikan tetap terjaga untuk generasi mendatang.
Ora ngapak ,Ora kepenak (tidak ngapak tidak terasa enak).
sumber:
Jurnal studi budaya nusantara. KONSTRUKSI IDENTITAS KULTURAL “WONG NGAPAK” MELALUI KONSUMSI MEDIALOKAL DIALEK BANYUMASAN. oleh Siti Khusnul Khotimah. Universitas Brawijaya.
Jurnal Ultima Humaniora, September 2014, hal 186-200 ISSN 2302-5719 Vol II, Nomor 2. Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas: Tinjauan dari Perspektif Filsafat Bahasa Hans-Georg Gadamer. oleh Rindha Widyaningsih. Dosen Tetap pada Fakultas Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
MELESTARIKAN BAHASA JAWA DIALEK BANYUMASAN MELALUI PEMBELAJARAN MUATAN LOKAL BAGI SISWA SEKOLAH DASAR DI KABUPATEN BANYUMAS. oleh Sri Hidayati, S.Pd.SD. Prodi Magister Pendidikan Dasar, Pascasarjana, Universitas Muhammadiyah Purwokerto; Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
https://www.banyumasekspres.id/purbalingga/lestarikan-bahasa-daerah-festival-ngapak-digelar-di-purbalingga/19/12/2021/
Comentários